uin@ar-raniry.ac.id +651-7557321

author Admin, Sabtu, 5 Januari 2019 | 11:25 WIB

Oleh: Sri Ningsih. Mahasantri Asrama Kompas Ma’had Al-Jami’ah Angkatan 6 Gelombang 2 Men-judge pribadi seseorang melalui serangkaian basis teori tidak selamanya menjadi tolok ukur yang pas. Relatifnya sikap, mental dan pola perlakuan harus benar-benar terukur berdasarkan fakta. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang paling berat ditimbangan kebaikan seorang mukmin pada hari kiamat seperti akhlaq yang mulia, dan sungguh-sungguh (benar-benar) Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar." (HR. At Tirmidzi No. 2002, Lafaz hadis Hasan shahih milik dalam Silsilatul Ah?d?ts Ash Shah?hah: 876). Kaitan hadis tersebut dengan memvonis kepribadian orang lain sangat jelas. Mengasumsi karakter seseorang buruk hanya dengan sekali pandang, tidak memahami langsung bahkan berani menjadi pakar psikologi dadakan atau lainnya merupakan ciri muslim yang tidak mencerminkan pribadi mulia Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, pantangan ini jangan terlewati. Ungkapan ini bukan tanpa alasan, saya akan mengurai kisah personaliti terbilang cukup menarik. Sosok tersebut dalam kesehariannya sering menuai kontroversi kehidupan yang dijalaninya. Uraian sedikit panjang akan membawa pembaca mendalami sisi kehidupan lain akan sosok inspiratif ini. Sebut saja seorang pimbina asrama yang menyita perhatian saya saat mendengar rentetan kisah atau perjalanan hidupnya dalam sebuah keluarga sederhana. Tinggal dipedalaman yang dirundung konflik menahun, serba terbatas dan tanpa dukungan moril. Cerita simpel dan sarat makna menghantarkan siapapun untuk mensyukuri hidup sebanyak-banyaknya dan ternyata memang gampang. Asma Rasyid, sosok yang lahir 32 tahun lalu didesa terpencil pada salah satu kecamatan di Aceh Utara. Dari empat bersaudara beliau anak kedua, dua saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Masa kecil beliau sudah show off dengan empati sosial. Bermain bersama teman-teman cilik bukan sekedar saja namun beliau juga menyalurkan empati tersebut dengan mengajari mereka, misalnya menulis diatas tanah menggunakan lidi kemudian mengajarkan/melafalkan tulisan untuk diikuti oleh teman-temannya. Mulai saat itu jiwa mengajar melekat tetapi belum dipahami karena masih tergolong anak-anak. Rasa ingin tahu berlebihan serta penasaran tinggi membawa beliau ketitik simpul pendidikan tinggi. Saat beliau mampu melakukan hal kecil tersebut, timbul hasrat untuk dihantarkan ke sekolah dasar seperti anak lainnya yang sudah menjajaki bangku sekolah. Harapan besar diutarakan kepada mendiang ayahnya namun sang ayah menolak dengan alasan masih kecil. Keinginan ditolak bukan berarti cita-cita terkubur, “masih ada tahun depan”, kenangnya. Era 90-an mempunyai kepercayaan unik, terutama dikalangan anak-anak apabila kedua tangan belum sampai ditangkupkan ketelinga maka belum pantas sekolah alias belum cukup umur. Belakangan kepercayaan itu mulai pudar seiring berkembang standar pendidikan untuk jenjang usia mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA dan PT. Menempuh pendidikan dasar dan menengah hanya didesa saja, selanjutnya beliau minta ke kota Lhokseumawe berjarak lebih kurang menit perjalanan sepeda motor disebabkan kondisi jalan mulus. Lagi-lagi setelah menamatkan pendidikan menengah atas, harapannya meleset karena belum berhasil lulus undangan pada perguruan tinggi di Jawa Tengah. Bahasa inggris menjadi subjek yang sangat dicintainya sekaligus mencakup semua ranah pekerjaan, tak pandai bahasa asing sama dengan nihil. “Kita harus menguasai bahasa asing untuk bisa maju beribu langkah kedepan, minimal bahasa inggris. Semua aspek pendidikan sudah mengadopsi pemikiran ini, demi anak didik menghadapi era global”, katanya pada satu kesempatan diskusi saya dengan beliau. Walhasil, atas saran teman seperjuangan diambilnya pendidikan tinggi pada salah satu perguruan tinggi Lhokseumawe yaitu IAIN Malikussaleh Lhokseumawe (dulu STAIN Malikussaleh Lhokseumawe) dengan konsentrasi Pendidikan Bahasa Inggris. “Yang penting lebel bahasa inggris masih ada”, ujar penyuka Western Movie ini sambil tertawa. Sejatinya seorang Asma Rasyid ini juga menyukai subjek bahasa dan sastra inggris, yang konon hendak lanjut ke tanah Jawa tapi belum beruntung. Apa hendak dikata man purposes god disposes, ayo teman-teman pembaca sekalian tidak boleh lupa slogan ini agar selalu bersyukur. Kebaikan itu selalu bertengger dipohon hikmah. Hidup mandiri bukan hal baru dalam kehidupan sosok yang saya kagumi ini, sejak SMA beliau diasuh oleh orang lain. Tidak makan di kantin sekolah menjadi hal biasa, bisa tergantikan dengan duduk dipustaka sekolah membaca buku selama 15 menit. Begitulah selama 3 tahun berturut-turut. Perkara ini berlanjut sampai perguruan tinggi, tidak ada uang saku bukan berarti tak makan. Justru tidak ada ilmu, tidak makan. Artinya seorang yang punya ilmu atau keahlian khusus maka jasanya dibutuhkan dan dibayar dengan materi uang, kemudian digunakan untuk membelanjakan sesuatu. Nah, konsepnya simpel kan? Bekerja sekaligus membantu disalah satu kantin kampus itulah menjadikan beliau kenyang, setelah tugas selesai boleh makan sesuka hati. Ongkos angkutan umum Rp. 10.000,- kala itu beliau sisihkan untuk foto copy bahan belajar, tidak minta lebih karena orang tuanya memberikan hanya sedikit. Penghematan semaksimal mungkin, agar semua bisa diatur dengan baik. Berat dan sedih, sampai pakaian sudah lusuh pun masih dipakai untuk pergi kuliah dan praktik mengajar menjelang semester akhir dikampus. Tapi semangat tak luntur, selalu mewarnai hari-hari beliau karena mentransfer ilmu adalah hobinya sejak kecil. Senyum simpul dengan anak-anak didik menghilangkan pikir negatif. Diskusi dengan junior dikampus dan membagi ilmu sudah terbiasa karena bersedekah ilmu amat baik. Kondisi ekonomi keluarga yang morat marit ketika konflik berlangsung menambah luka, namun beliau tak patah arang masih banyak cara asalkan kemauan terdepan. Maju itu melalui tekad sangat berpengaruh buat siapa saja. Mengais rezeki halal sah jika niat tulus. Pernah dibayar Rp. 3000,- /pakaian jika laku ditawarkan ke pembeli. Rawan ejekan sudah pasti, namun ditepis dengan senyuman dan semboyan “aku pasti bisa”. Ya, mimpi itu tak semstinya malam hari. Siang hari pun silakan bermimpi. Setelah menyelesaikan praktik mengajar pada salah satu SMA negeri dikota Lhokseumawe, beliau diterima mengabdi disana. Tidak lama hanya 4 bulan saja. Terlintas dibenak sosok tegas itu untuk terus aktif pada sekolah tersebut, namun apa lacur janji sang pembimbing (guru pamong) tidak bertuah. Beliau dimanfaatkan karena kemampuannya. Janji hanya bisa mulus dengan kucuran dana agar bisa mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari dinas terkait. Memang praktik KKN masih berakar dimana saja, di negara tercinta ini. Pahit pun berlalu dengan segenap kesabaran, ia mencari jalan keluar mengabdi disekolah lain. Rezeki takkan tertukar, salah satu Madrasah Aliyah di Aceh Utara menjadi wadah pengabdian menyalurkan ilmu kepada anak didik. Lima tahun bertandang disana tidak semudah membalik telapak tangan. Kerap menghadapi tekanan kiri kanan disebabkan dengki pihak tertentu. Secara psikologis dekat dengan anak didik, humoris, kocak dan tetap tegas. Bahkan tiga tahun pertama, honor yang diterima tidak sebanding dengan jerih. Pemotongan persentase honor besar-besaran membuat beliau banting setir dengan kerja sampingan. Malu mengharap pada orang tua sekalipun anak perempuan tanggungan sampai dinikahkan. Memasuki tahun keempat, terjadi pergeseran besar posisi dimana semua tenaga honor di Aceh dirumahkan karena membludak, pembiayaan pemerintah membengkak serta tupoksi kerja tidak seimbang. Tawaran hanya ada dua menjadi tenaga administrasi atau tenaga perpustakaan. Disebabkan menyukai tantangan beliau memilih bagian administrasi. Pengalamannya sisi administrasi menghantarkan kepada hal-hal yang terdalam dan surprised. Ketidak jujuran pengelolaan administrasi melahirkan kebosanan, beliau ikut menanggapi. Lagi-lagi pihak tertentu tak ingin disaingi. Tak gentar, sekelumit informasi dari diskusi organisasi yang beliau geluti mampu mengubah stigma negatif. Bahkan, beberapa dari mereka sedikit hati-hati lantaran background organisasi sangat populer. Siapa sih yang tidak kenal KDAU/SDAU yang melahirkan generasi demokrasi unggul, kritis dan positif. Disanalah beliau ditempa meskipun tidak lama, hanya 6 bulan saja. Bibit materi dan mengkritisi persoalan sesuai dengan ranah adalah hal biasa bagi anggota komunitas tersebut. Singkat cerita, tahun 2014 lalu seorang Asma Rasyid mencoba peruntungan kepusat provinsi Aceh yaitu kota madani Banda Aceh tepatnya di UIN Ar-Raniry. Timbul pertanyaan bagaimana mungkin bekerja ditempat bergengsi sementara tidak ada yang memberi jalan masuk. Sudah jadi rahasia umum bahwa mencari sesuap nasi zaman sekarang sulit. Tidak mustahil bagi Allah untuk melimpahkan Rahmat-Nya kepada siapapun yang dikehendaki. Bermodalkan nekad dan tekad kuat semua bisa. “Terlintas dibenak saya bahwa kecil kemungkinan diterima dikampus ini, sekalipun di UPT nya. Background pendidikan saya bertolak belakang dengan pekerjaan yang akan digeluti. Prinsip saya satu saja yakni suka tantangan baru”, selorohnya santai tapi serius. Ditempatnya ia bekerja sosok ini dikenal sangat kontra. Mengambil kebijakan dengan tegas. Suatu waktu, disebabkan kebijakan yang beliau terapkan malah diputar balik faktanya oleh sejumlah oknum. Hal lumrah ini kaitannya kecil saja dan bisa diluruskan. Beliau tidak ambil pusing. Menyikapi dengan santai. Displin yang beliau terapkan kepada mahasiswa ditempat kerjanya sekarang cukup eksis, banyak asumsi negatif diluar sana yang menuai perhatian saya temasuk mereka menyebut sombong lantaran jarang menyapa, sejatinya beliau tidak bicara dengan sembarang. Analisis sejauh amatan saya tidak demikian. Sosok tegas dan prinsipil itu memiliki sudut pandang positif juga. Membangkitkan reputasi serta menekan anggapan miring bukan pekerjaan mudah. Saat mega penyerangan sampai kecaman mengalir deras, rintihan kepada yang Maha Kuasa beliau panjatkan. Karena sang Khalik yang membolak balikkan hati hambaNya kepada hidayah pun sebaliknya. Pandangan sinis akan kemampuan seorang Asma Rasyid pelan-pelan memudar dengan bukti aktifitas positif. Mendidik dan membina tidak segampang buka-tutup mata. Oleh karena itu, pembaca sekalian sangat penting kita mengasah pribadi yang punya tekad kuat. Melakukan suatu pekerjaan dengan ikhlas, belajar maksimal, mewakafkan pribadi/jasa kepada yang benar-benar membutuhkan, membangun pengalaman bermakna, mengasumsi bahwa pendidikan ukuran segalanya. Pendidikan merupakan obor bagi anak bangsa agar bermartabat dimata dunia. Urgensinya, sibuklah bersyukur hingga lupa cara mengeluh., jangan sibuk mengeluh hingga lupa cara bersyukur. Hingga uraian ini terbaca, saya masih mengagumi pribadi “Snobis” ini (sebutan untuk sikap sombong) . Bercita-citalah kawan! (*SN)